Kamis, 23 Oktober 2008

PENENTUAN AWAL PUASA / LEBARAN HISAB ATAU RU’YAT

Alhamdulillah Ramadhan kali ini diawali tanpa masalah, karena penentuan awal Ramadhan , baik yang melalui hisab maupun yang dengan ru’yat jatuh pada hari yang sama. Idealnya memang begini. Namun mengingat seringnya terjadi ketidaksamaan dalam menentukan awal Ramadhan maupun Syawal pada masa-masa lalu, kesamaan yang terjadi kali ini dapat dikatakan sebagai suatu kebetulan semata. Apakah Iedulfitrie kali ini akan sama seperti awal Ramadhan yang lalu belum dapat ditentukan.
Yang menjadi pertanyaan adalah : “Tidak mungkinkah perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Syawal ini dihindari ?”

Sebelum membahas lebih jauh sebaiknya kita lihat dulu duduk persoalannya.
Baik bulan Sya’ban maupun Ramadhan ada kalanya hanya 29 hari , dan ada kalanya genap berumur 30 hari. Bilamana Sya’ban hanya 29 hari, maka yang seharusnya 30 Sya’ban bergeser menjadi 1 Ramadhan. Demikian pula bila Ramadhan hanya 29 hari, yang seharusnya 30 Ramadhan bergeser menjadi 1 Syawal.
Untuk mengetahui kapan bulan-bulan tersebut 29 hari dan kapan 30 hari, Rasulullah telah memberikan pedoman yang intinya, terlihatnya bulan pada tanggal 29 bulan berjalan berarti berakhirnya bulan tersebut, dengan kata lain esoknya sudah masuk pada bulan berikutnya. Bilamana pada tanggal 29 bulan tidak terlihat, maka esoknya adalah tanggal 30 dari bulan berjalan.
Timbul pertanyaan, bagaimana dengan penentuan yang diperoleh melalui hisab ?
Sebagaimana diutarakan diatas, pedoman yang diberikan Rasulullah sudah amat jelas, tidak ada perbedaan menyangkut hal ini dan tidak pernah pula Rasulullah menyebut masalah hisab.
Sesederhana inikah ? Tentu saja, tidak.
Perlu kita sadari adanya anggapan bahwa islam itu dogmatis sangatlah keliru, bahkan “menyesatkan”. Tidak kurang dari tigapuluh kali penggunaan akal fikiran diulang dalam Al Qur”aan, baik dengan kata-kata : “bagi orang-orang yang berakal”, “bagi orang-orang yang berfikir” maupun “bagi orang-orang yang menggunakan akal fikirannya”. Bahkan pada ayat ke seratus Surah Yunus Allah mengungkapkan kemurkaan Nya terhadap orang-orang yang tidak menggunakan akalnya.

Sebagaimana kita maklumi, sebagai pedoman hidup bagi manusia Al Qur”aan hanya berisikan prinsip-prinsip dasar dari kehidupan, sementara pengamalannya kita peroleh melalui hadits Rasulullah. Karenanya kewajiban untuk taat tidak terbatas hanya kepada Allah semata, tetapi mentaati Allah dan Rasul Nya ( Q.S. 5 : 92 dan Q.S. 24 : 54 ).
Bagaimana kita mendirikan Shalat tidak lain mengikuti contoh yang Nabi berikan, begitu pula dengan waktu-waktunya. Yang Nabi sampaikan adalah, Waktu subuh dimulai apabila benang hitam dan benang putih sudah dapat dibedakan (munculnya bias matahari), Zuhur dimulai saat matahari sudah tergelincir dari kulminasinya, Ashar dimulai saat panjang bayangan (akibat cahaya matahari) sudah melebihi panjang bendanya, Maghrib bila matahari sudah terbenam dan Isya bila bias matahari sudah sirna.
Kenyataan bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan (astronomi), kedudukan matahari senantiasa dapat ditentukan (diperhitungkan) dengan tepat, telah dimanfaatkan untuk mendapatkan kemudahan dalam penentuan waktu-waktu Shalat. Kita tidak perlu lagi mengira-ngira, karena disetiap mesjid telah tersedia jadwal Shalat yang disusun dengan acuan tang telah Rasulullah berikan.
Jika hisab (perhitungan) sudah kita rasakan manfaatnya dalam penentuan waktu-waktu shalat, mengapa untuk penentuan awal puasa maupun lebaran belum dapat kita manfaatkan ?
Sebelumnya perlu kita ingat bahwa pemanfaatan ilmu pengetahuan hanyalah untuk memperoleh kemudahan , bukan merupakan acuan. Karenanya, yang dihisab adalah terlihat atau tidaknya bulan pada 29 sya’ban / Ramadhan.
Sebagaimana kita ketahui, baik ketinggian bulan maupun matahari senantiasa dapat dihitung sebelum waktunya. Ini berarti bahwa ketinggian bulan ketika matahari terbenam tentulah juga dapat ditentukan. Namun perlu diingat bahwa keberadaan bulan yang masih berada diatas ufuk ketika matahari teerbenam tidaklah selamanya terpantau oleh penglihata.n. Bias dari cahaya matahari yang baru saja terbenam akan menghalangi penglihatan untuk dapat melihat keberadaan bulan. Keberadaan bulan baru terlihat setelah intensitas dari bias matahari menurun, Artinya, diperlukan beberapa saat sampai bias matahari tidak terlalu terang untuk menghalangi penglihatan, barulah keberadaan bulan dapat disaksikan. Karena keadaan ini sangat ditentukan oleh kemampuan penglihatan, seberapa lemah bias cahaya matahari agar keberadaan bulan dapat dipantau, maka penentuannya tidaklah dapat dilakukan melalui perhitungan. Yang dapat menentukan adalah pengamatan / pemantauan berulang-ulang sampai diketemukannya ketinggian minimum bulan ketika matahari terbenam dimana keberadaan bulan dapat dipantau.
Dengan diketemukannya keadaan ini tentu saja perhitungan yang dilakukan untuk penentuan terlihat tidaknya bulan akan sama persis dengan hasil ru’yat. Bukan saja terhindar dari kerancuan, bahkan akan memberikan kemanfaatan karena jauh-jauh hari awal Ramadhan maupun Iedulfitrie sudah dapat ditentukan.


Jatikramat, 15 September 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar